Jumat, 08 November 2013

Amal dan Ikhlas

Amal dan Ikhlas
Seorang pemuda yang berprofesi sebagai ahli amal ibadah berkunjung ke rumah seorang sufi dan beniat ingin membanggakan hasil amalnya kepada sang sufi. Sang pemuda dengan bangga mengatakan dirinya sudah melakukan seluruh amal perbuatan baik, amal yang wajib, sunah, baca Alquran, menolong, dan berkorban untuk orang lain. Harapan sang pemuda itu adalah masuk surga dengan tumpukan amalnya, karena pemuda itu mencatat dalam buku hariannya segala amal yang dia perbuat secara detail hari demi hari.
“Saya rasa sudah cukup baik apa yang saya lakukan Tuan Sufi, dan amal ibadah untuk bekal bagi saya ke surga.” Sang sufi menjawab dengan pertanyaan,
“Apa yang sudah kamu lakukan? Dan kapan kamu menciptakan amal ibadah? Kok kamu merasa punya?” P emuda itu terdiam, lalu berkata,
 “Saya sudah melakukan perintah dan larangan Allah dengan jerih payah dan usaha saya.”
 “Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?” sang sufi bertanya lagi.
“Kalau bukan saya, siapa lagi,” jawab pemuda ahli ibadah
seraya menyombongkan diri.
“Jadi, kamu mau masuk surga sendiri dengan amal-amalmu
itu?”
 “Jelas dong, Tuan!”
“Saya tidak menjamin kamu bisa masuk ke surga. Kalau toh
masuk, kamu malah akan tersesat di sana.”
Pemuda itu terkejut, bahkan marah atas ungkapan sang
sufi, tapi pemuda itu tetap diam menahan rasa marah di hati. Dia
ingat kalau dia harus beramal ibadah yang baik.
“Mana mungkin di surga ada yang tersesat, jangan-jangan
Tuan Sufi ini beraliran sesat,” kata pemuda itu menuding, sedikit
melampiaskan marahnya kepada sufi.
“Kamu benar… tapi sesat bagi setan dan petunjuk bagi saya.”
“Tolong diperjelas, Tuan.”
“Seandainya seluruh amalmu itu ditolak oleh Allah,
bagaimana?”
“Lho, kenapa?”
“Siapa tahu kamu tidak ikhlas dalam menjalankan amal
ibadah kamu.”
“Saya ikhlas kok… sungguh ikhlas, bahkan setiap keikhlasan
amal saya masih saya ingat semua.”
“Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih
mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin kamu ikhlas
kalau masih mengandalkan amal ibadah? Mana mungkin kamu
ikhlas kalau sudah merasa puas dengan amal Anda sekarang
ini?”
Pemuda itu duduk bingung seperti mengalami cercaan.
Pikirannya melayang, membayangkan bagaimana soal tersesat
di surga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak
ikhlas. Dalam kondisi setengah frustrasi, sang sufi menepuk
pundaknya.
 “Hai anak muda, jangan kecewa dan jangan putus asa. Kamu
cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk surga, itu
baik. Tapi kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik
dan Pencipta Surga, bagaimana? Kan sama dengan orang masuk
rumah orang, lalu kamu tidak berjumpa dengan tuan rumah.
Apakah kamu seperti orang linglung atau orang yang bahagia?”
“Saya harus bagaimana Tuan….”
“Mulailah menuju Sang Pencipta Surga, maka seluruh
nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke
surga, tapi keikhlasanmu dalam beramal merupakan tiket dan
wadah bagi rida dan rahmat-Nya. Insya Allah, dengan begitu
akan menarik dirimu masuk ke dalamnya….”
Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak.
“Begini saja, anak muda. Mana mungkin surga tanpa Allah,
mana mungkin neraka bersama Allah?”
Pemuda itu tetap saja bengong, mulutnya melongo seperti
kerbau. “Dasar anak muda,” gumam sang sufi dalam hati.
***
Ikhlas menduduki peringkat pertama dalam intisari iman karena iman mengobati pangkal segala keburukan. Siapa pun tahu, bahwa ikhlas adalah jurus ampuh yang dipakai dalam menghadapi masalah. Apa pun amal yang kita kehendaki, tidak akan afdal jika tidak diikutsertakan ikhlas dalam hati. Murni, layaknya ASI dari seorang ibu yang melahirkan. Ikhlas yang sesungguhnya adalah murni dalam hati. Bayangan setan selalu menggoda kita agar mereka selalu memenangi peperangan batin antara kebaikan dan keburukan. Maka, di saat itulah kita diuji. Walaupun seolah ringan tak bertuan, hal-hal keburukan itu kerap terjadi menghantui jiwa. Sebut saja sifat yang kita kenal, yaitu ‘sombong’.

SETIAP KEMENANGAN PASTI ADA KESABARAN…..

Di suatu sore, seorang anak datang kepada ayahnya yg sedang baca koran… ayah anak“Ayah, ayah” kata sang anak…

“Ada apa?” tanya sang ayah…..

“aku capek, sangat capek … aku capek karena aku belajar mati matian untuk mendapat nilai bagus sedang temanku bisa dapat nilai bagus dengan menyontek…aku mau menyontek saja! aku capek. sangat capek…

aku capek karena aku harus terus membantu ibu membersihkan rumah, sedang temanku punya pembantu, aku ingin kita punya pembantu saja! … aku capel, sangat capek …

aku cape karena aku harus menabung, sedang temanku bisa terus jajan tanpa harus menabung…aku ingin jajan terus! …

aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga lisanku untuk tidak menyakiti, sedang temanku enak saja berbicara sampai aku sakit hati…

aku capek, sangat capek karena aku harus menjaga sikapku untuk menghormati teman teman ku, sedang teman temanku seenaknya saja bersikap kepada ku…

aku capek ayah, aku capek menahan diri…aku ingin seperti mereka…mereka terlihat senang, aku ingin bersikap seperti mereka ayah ! ..” sang anak mulai menangis…

Kemudian sang ayah hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya sambil berkata ” anakku ayo ikut ayah, ayah akan menunjukkan sesuatu kepadamu”, lalu sang ayah menarik tangan sang anak kemudian mereka menyusuri sebuah jalan yang sangat jelek, banyak duri, serangga, lumpur, dan ilalang… lalu sang anak pun mulai mengeluh ” ayah mau kemana kita?? aku tidak suka jalan ini, lihat sepatuku jadi kotor, kakiku luka karena tertusuk duri. badanku dikelilingi oleh serangga, berjalanpun susah krn ada banyak ilalang… aku benci jalan ini ayah” … sang ayah hanya diam.

Sampai akhirnya mereka sampai pada sebuah telaga yang sangat indah, airnya sangat segar, ada banyak kupu kupu, bunga bunga yang cantik, dan pepohonan yang rindang…

“Wwaaaah… tempat apa ini ayah? aku suka! aku suka tempat ini!” sang ayah hanya diam dan kemudian duduk di bawah pohon yang rindang beralaskan rerumputan hijau.

“Kemarilah anakku, ayo duduk di samping ayah” ujar sang ayah, lalu sang anak pun ikut duduk di samping ayahnya.

” Anakku, tahukah kau mengapa di sini begitu sepi? padahal tempat ini begitu indah…?”

” Tidak tahu ayah, memangnya kenapa?”

” Itu karena orang orang tidak mau menyusuri jalan yang jelek tadi, padahal mereka tau ada telaga di sini, tetapi mereka tidak bisa bersabar dalam menyusuri jalan itu”

” Ooh… berarti kita orang yang sabar ya yah? alhamdulillah”

” Nah, akhirnya kau mengerti”

” Mengerti apa? aku tidak mengerti”

” Anakku, butuh kesabaran dalam belajar, butuh kesabaran dalam bersikap baik, butuh kesabaran dalam kujujuran, butuh kesabaran dalam setiap kebaikan agar kita mendapat kemenangan, seperti jalan yang tadi… bukankah kau harus sabar saat ada duri melukai kakimu, kau harus sabar saat lumpur mengotori sepatumu, kau harus sabar melawati ilalang dan kau pun harus sabar saat dikelilingi serangga… dan akhirnya semuanya terbayar kan? ada telaga yang sangatt indah.. seandainya kau tidak sabar, apa yang kau dapat? kau tidak akan mendapat apa apa anakku, oleh karena itu bersabarlah anakku”

” Tapi ayah, tidak mudah untuk bersabar ”

” Aku tau, oleh karena itu ada ayah yang menggenggam tanganmu agar kau tetap kuat … begitu pula hidup, ada ayah dan ibu yang akan terus berada di sampingmu agar saat kau jatuh, kami bisa mengangkatmu, tapi… ingatlah anakku… ayah dan ibu tidak selamanya bisa mengangkatmu saat kau jatuh, suatu saat nanti, kau harus bisa berdiri sendiri… maka jangan pernah kau gantungkan hidupmu pada orang lain, jadilah dirimu sendiri… seorang pemuda muslim yang kuat, yang tetap tabah dan istiqomah karena ia tahu ada Allah di sampingnya… maka kau akan dapati dirimu tetap berjalan menyusuri kehidupan saat yang lain memutuskan untuk berhenti dan pulang… maka kau tau akhirnya kan?”

” Ya ayah, aku tau.. aku akan dapat surga yang indah yang lebih indah dari telaga ini … sekarang aku mengerti … terima kasih ayah , aku akan tegar saat yang lain terlempar ”

Sang ayah hanya tersenyum sambil menatap wajah anak kesayangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar